Vrijman atau orang bebas masih saja jadi buah bibir
hingga abad 21 ini. Tentu saja, banyak yang akan mengernyitkan kening
mendengar kata itu.
Vrijman kurang beken dibanding kata preman, bahasa Indonesia dari vrijman. Meski, memang, arti kata itu sendiri mengalami perubahan makna sejak masa VOC hingga zaman kiwari atawa modern ini.
Vrijman di awal abad 17 bermakna, orang yang bukan pejabat VOC tapi melakukan negosiasi atas nama si pejabat. Intinya, kata preman punya arti orang merdeka, bebas, dan sangat terkait dengan prajurit dan polisi yang tidak memakai seragam, demikian ditulis Jerome Tadie dalam Wilayah Kekerasan di Jakarta.
Istilah preman dengan konotasi criminal baru muncul di akhir tahun 1970, yaitu dalam serial Ali Topan, Detektip Partikelir. Tadie, berdasarkan beberapa literatur dan ulasan media di akhir 1970 dan awal 1980, menuliskan, organisasi Preman Sadar – organisasi keamanan –dibentuk dengan hanya merekrut preman dan mantan narapidana.
Media pun makin bikin beken kata preman dan jadi hal yang biasa disebut dengan arti yang jauh dari arti yang sebenarnya. Karena preman kemudian bermakna penjahat, bandit, tukang palak, jambret, berandalan, gali, bahkan sampai ke pengamen jalanan yang lagaknya memeras penumpang di bus pun seringkali ditunjuk sebagai preman.
Pokoknya orang jahat; orang yang meminta uang tanpa kerja; orang yang menawarkan keamanan meski hanya ongkang-ongkang kaki, yang penting uang masuk kantong; orang yang berlagu meneror pihak lain.
Preman tak lagi berarti prajurit dan polisi yang berpakaian sipil. Padahal, kenapa tidak kita sebut saja mereka bandit, tukang palak, berandalan. Lebih pantas karena intinya melawan hukum demi kepentingan diri dan kelompoknya. Sementara preman atau vrijman memang bukan kata yang merujuk pada kejahatan.
Menarik jika melihat jauh ke belakang, persoalan jagoan, jawara, bandit sudah ada sejak abad silam. Beberapa waktu lalu Warta Kota membahas tentang jagoan atau bandit di masa kolonial. Jagoan jika dilihat dari warga setempat, bandit di mata pemerintah kolonial, contohnya si Pitung.
Meski dalam penelitian Henk Schulte Nordholt dan Margreet van Till berjudul Colonial Criminals in Java 1870-1910 yang terangkum pada buku tulisan Vicente L Rafael dan Rudolf Mrazek yaitu Figures of Criminality in Indonesia, Philippines, and Colonial Vietnam, mereka menyatakan perlakuan para bandit atau jawara yang seringkali disamakan dengan Robin Hood dinilai kurang tepat pada beberapa bandit/jawara itu.
Koran Bataviaasch Nieuwsblad di abad 19 menurunkan tulisan berseri berjudul Onze Mafia (Our Mafia). Koran ini fokus pada kisah Si Gantang, penjahat yang dijatuhi hukuman mati tapi berhasil lolos setelah enam tahun dipenjara.
Si Gantang ini, berhasil memperolok polisi kolonial sehingga sulit ditangkap. Ia bahkan membangun kekuatan sendiri, mengutip pajak dan menuntut jasa penduduk lokal.
Intinya, gerombolan Si Gantang ini berlagak seperti penguasa dengan janji, penduduk akan aman dari ancaman pencuri. Padahal mereka sendirilah bandit yang mengambil hak milik para petani, dan merampok rumah warga Tionghoa dan Eropa.
Kasus seperti Si Gantang, dengan tegas ditulis Nordholt dan van Till sebagai tak ada kesamaan dengan Robin Hood.
Dari penggambaran itu, kisah Si Gantang sangat relevan dengan kisah “preman” atau saya lebih suka menyebut bandit di abad 21. Atas nama hukum, keamanan, dan ketertiban, mereka berlaku semaunya.
Intinya, hanya memalak, meminta uang tanpa susah payah kerja. Modalnya, menekan, menakut-nakuti, dan meneror. Sebuah tindakan pengecut, sejatinya. Alhasil kawasan yang menurut sesumbar mereka dijaga dan diawasi oleh mereka malah makin semrawut.
Banyak pihak ogah berurusan dengan kawasan-kawasan tersebut. Di Jakarta ini ada banyak titik yang dikuasai para bandit. Namun sepertinya aparat sulit menumpas.
Perihal sulit menumpas, ada sejarahnya pula, yang bisa jadi benang merah. Si bandit berkolaborasi dengan aparat. Si Gantang dan geng-nya punya hubungan spesial dengan penguasa pribumi seperti Demang Bekasi yang ia suap dalam rangka melepaskan rekan sesama pencuri.
Menurut penelitian itu, disebutkan pula, Si Gantang punya kaki tangan orang Eropa yang menyediakan informasi dan senjata. Tentu karena suap besar yang mereka bayarkan. Kuasa uang, luar biasa, bukan?
Vrijman kurang beken dibanding kata preman, bahasa Indonesia dari vrijman. Meski, memang, arti kata itu sendiri mengalami perubahan makna sejak masa VOC hingga zaman kiwari atawa modern ini.
Vrijman di awal abad 17 bermakna, orang yang bukan pejabat VOC tapi melakukan negosiasi atas nama si pejabat. Intinya, kata preman punya arti orang merdeka, bebas, dan sangat terkait dengan prajurit dan polisi yang tidak memakai seragam, demikian ditulis Jerome Tadie dalam Wilayah Kekerasan di Jakarta.
Istilah preman dengan konotasi criminal baru muncul di akhir tahun 1970, yaitu dalam serial Ali Topan, Detektip Partikelir. Tadie, berdasarkan beberapa literatur dan ulasan media di akhir 1970 dan awal 1980, menuliskan, organisasi Preman Sadar – organisasi keamanan –dibentuk dengan hanya merekrut preman dan mantan narapidana.
Media pun makin bikin beken kata preman dan jadi hal yang biasa disebut dengan arti yang jauh dari arti yang sebenarnya. Karena preman kemudian bermakna penjahat, bandit, tukang palak, jambret, berandalan, gali, bahkan sampai ke pengamen jalanan yang lagaknya memeras penumpang di bus pun seringkali ditunjuk sebagai preman.
Pokoknya orang jahat; orang yang meminta uang tanpa kerja; orang yang menawarkan keamanan meski hanya ongkang-ongkang kaki, yang penting uang masuk kantong; orang yang berlagu meneror pihak lain.
Preman tak lagi berarti prajurit dan polisi yang berpakaian sipil. Padahal, kenapa tidak kita sebut saja mereka bandit, tukang palak, berandalan. Lebih pantas karena intinya melawan hukum demi kepentingan diri dan kelompoknya. Sementara preman atau vrijman memang bukan kata yang merujuk pada kejahatan.
Menarik jika melihat jauh ke belakang, persoalan jagoan, jawara, bandit sudah ada sejak abad silam. Beberapa waktu lalu Warta Kota membahas tentang jagoan atau bandit di masa kolonial. Jagoan jika dilihat dari warga setempat, bandit di mata pemerintah kolonial, contohnya si Pitung.
Meski dalam penelitian Henk Schulte Nordholt dan Margreet van Till berjudul Colonial Criminals in Java 1870-1910 yang terangkum pada buku tulisan Vicente L Rafael dan Rudolf Mrazek yaitu Figures of Criminality in Indonesia, Philippines, and Colonial Vietnam, mereka menyatakan perlakuan para bandit atau jawara yang seringkali disamakan dengan Robin Hood dinilai kurang tepat pada beberapa bandit/jawara itu.
Koran Bataviaasch Nieuwsblad di abad 19 menurunkan tulisan berseri berjudul Onze Mafia (Our Mafia). Koran ini fokus pada kisah Si Gantang, penjahat yang dijatuhi hukuman mati tapi berhasil lolos setelah enam tahun dipenjara.
Si Gantang ini, berhasil memperolok polisi kolonial sehingga sulit ditangkap. Ia bahkan membangun kekuatan sendiri, mengutip pajak dan menuntut jasa penduduk lokal.
Intinya, gerombolan Si Gantang ini berlagak seperti penguasa dengan janji, penduduk akan aman dari ancaman pencuri. Padahal mereka sendirilah bandit yang mengambil hak milik para petani, dan merampok rumah warga Tionghoa dan Eropa.
Kasus seperti Si Gantang, dengan tegas ditulis Nordholt dan van Till sebagai tak ada kesamaan dengan Robin Hood.
Dari penggambaran itu, kisah Si Gantang sangat relevan dengan kisah “preman” atau saya lebih suka menyebut bandit di abad 21. Atas nama hukum, keamanan, dan ketertiban, mereka berlaku semaunya.
Intinya, hanya memalak, meminta uang tanpa susah payah kerja. Modalnya, menekan, menakut-nakuti, dan meneror. Sebuah tindakan pengecut, sejatinya. Alhasil kawasan yang menurut sesumbar mereka dijaga dan diawasi oleh mereka malah makin semrawut.
Banyak pihak ogah berurusan dengan kawasan-kawasan tersebut. Di Jakarta ini ada banyak titik yang dikuasai para bandit. Namun sepertinya aparat sulit menumpas.
Perihal sulit menumpas, ada sejarahnya pula, yang bisa jadi benang merah. Si bandit berkolaborasi dengan aparat. Si Gantang dan geng-nya punya hubungan spesial dengan penguasa pribumi seperti Demang Bekasi yang ia suap dalam rangka melepaskan rekan sesama pencuri.
Menurut penelitian itu, disebutkan pula, Si Gantang punya kaki tangan orang Eropa yang menyediakan informasi dan senjata. Tentu karena suap besar yang mereka bayarkan. Kuasa uang, luar biasa, bukan?
Pradaningrum Mijarto
(www.terasindonesia.co.id)
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !