Di desa Samili kala itu suasana hening menyelimuti rumah keluarga Haji Husen dan Siti Aisyah Tepatnya pada tanggal 1 Juli 1924 Siti Aisyah akan melahirkan anak pertama mereka, suasana begitu tegang dikala suara tangisan bayi terdengar, Haji Husen langsung bersujud syukur kepada Allah SWT, atas kelahiran dan keselamatan bayi dan istrinya, begitu Haji Husen melihat anak pertamanya terbaring disebelah istri tercintanya, terasa ada sinar dan cahaya yang terpancar dari wajah sang anak.
Dan Haji Husen pun membisikkan kalimat Syahadat dan Adzan di telinga sang Bayi, kemudian Haji Husen memberikan nama kepada anak pertama mereka yaitu Muhammad Nur yang artinya cahaya dari Rasulullah Muhammad SAW. Kemudian warga Desa Samili turut menyambut kebahagiaan itu karena Haji Husen merupakan tokoh Ulama dan Spiritual di Desa Samili.
Muhammad Nur tumbuh besar layaknya anak-anak lainnya. Dari sang Ayah, Noor (panggilannya) di ajarkan mengaji dan ilmu-ilmu Agama untuk membekali kehidupannya, di usianya mencapai 4 tahun Noor kecil dimasukkan sekolah oleh Ayahnya di Sekolah Rakyat (SR) Tente. Kemudian tahun 1944 Muhammad Nur menginjak usia 17 tahun, ayahnya mengirim dia untuk melanjutkan sekolah keguruan “Shihank Gakko” sekolah zaman Jepang di Singaraja-Bali selama 1 tahun.
Bertepatan dengan Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Pada tanggal 23 Agustus 1945 di Bali secara resmi tersebar berita kemerdekaan Indonesia, maka seluruh Pemuda-pemudi di Singaraja bergabung dalam pergerakan kemerdekaan Angkatan Muda Indonesia (AMI) dari sinilah awal Muhammad Nur mulai aktif dalam organisasi kemerdekaan di Singaraja.
Datanglah instruksi dari Jawa kepada Mr.I Gusti Ketut Pudja selaku Gubernur Sunda Kelapa Kecil, menginstruksikan kepada seluruh Pemuda-pemudi di Singaraja untuk menyebarkan berita Proklamasi kemerdekaan di seluruh Indonesia, maka terpilihlah Muhammad Nur untuk membawa berita Proklamasi kemerdekaan dan mengibarkan bendera Merah Putih di wilayah kesultanan Bima. Setibanya di Bima Muhammad Nur langsung menghadap Sultan Bima Muhammad Salahuddin dan memberikan surat Proklamasi kemerdekaan beserta bendera Merah Putih dan mengatakan kepada Sultan bahwa Indonesia telah merdeka, kemudian Sultan Bima memeluk sang pembawa pesan kemerdekaan itu (Muhammad Nur).
Setelah lulus dari sekolah keguruan “Shihank Gakko” di Singaraja tahun 1946, Muhammad Nur mengabdikan dirinya untuk menjadi guru di Bima, pada saat itu Belanda belum mengakui kemerdekaan Indonesia dan di Bimapun masih diduduki KNIL (tentara pribumi didikan belanda), maka Muhammad Nur beserta teman-teman sesama guru membentuk pergerakan mempertahankan kemerdekaan di Bima yaitu Angkatan Pemuda Indonesia (API) untuk mengusir penjajah Belanda di wilayah Bima, meletuslah peperangan di Bima tahun 1947 dengan semangat perjuangan para anggota Angkatan Pemuda Indonesia (API) saling bahu membahu melawan Belanda, dan Belandapun mengalami banyak kekalahan.
Keterlibatan Muhammad Nur ke wilayah-wilayah medan pertempuran membuat Belanda mengeluarkan Instruksi bahwa Muhammad Nur menjadi buronan nomor 1 yang harus di tangkap, dan tahun 1949 Bima telah bersih dari penjajahan Belanda.(Fahrurizki)
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !